WANITA YANG SELESAI HAIDH DI WAKTU ASHAR APAKAH HARUS SHALAT DZUHUR JUGA…?

Oleh :  Ahmad Hasanuddin Umar  *) HalaQah  - Ada dua pendapat yang berkembang dalam menjelaskan persoalan diatas, sebagian mengharu...


Oleh : Ahmad Hasanuddin Umar *)

HalaQah - Ada dua pendapat yang berkembang dalam menjelaskan persoalan diatas, sebagian mengharuskan, sebagian lagi mengatakan tidak harus. 

A. PANDANGAN YANG MENGHARUSKAN

Sebagian ulama ketika ditanya apakah seorang wanita yang berhenti haidh pada saat ashar atau bahkan menjelang maghrib harus juga menunaikan shalat zhuhur…? mereka menjawab iya. Diantara para ulama yang berpendapat dengan pendapat ini adalah ; 2 orang sahabat Abdurrahman bin Auf dan Abdullah bin Abbas, dan diikuti oleh Ibnu Qudamah rahimahullahu seperti yang beliau jelaskan dalam kitab al-Mughni (1/239). Dua orang sahabat tersebut berkata ;

إن الحائض تطهر قبل طلوع الفجر بركعة تصلي المغرب والعشاء، فإذا طهرت قبل أن تغرب الشمس صلّت الظهر والعصر جميعا، لأن وقت الثانية وقت للأولى حال العذر. 

Artinya : wanita haidh yang suci sebelum terbit fajar sekitar satu rakaat, maka dia (harus) shalat maghrib dan isya. Dan jika dia suci sebelum matahari terbenam maka dia (harus) shalat zhuhur dan ashar semuanya, karena waktu shalat kedua adalah juga waktu bagi shalat yang pertama dalam keadaan ada udzur. 

Ulama muataakhir yang mengikuti pendapat ini adalah Syeikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu. Beliau mengatakan : 

إذا طهرت الحائض أو النفساء قبل غروب الشمس وجب عليها أن تصلي الظهر والعصر في أصح قولي العلماء، وهكذا إذا طهرت قبل طلوع الفجر وجب عليها أن تصلي المغرب والعشاء ; لأن وقتهما واحد في حق المعذور كالمريض و المسافر. 

Artinya : apabila wanita haidh atau nifas suvi sebelum terbenam matahari, maka dia wajib shalat zhuhur dan ashar, menurut qaul yang paling shahih dari dua pendapat ulama yang ada. Begitu juga jika si wanita tersebut suci sebelum terbit fajar subuh, maka dia wajib shalat maghrib dan Isya, karena waktunya satu bagi mereka yang ada udzur, seperti orang sakit atau yang sedang safar. (lihat kitab Majmu' al-Fatawa jilid 10 halaman 217).

Begitu halnya fatwa dari Komisi Fatwa Arab Saudi (al-Lajnah ad-Daimah lil Iftaa) menjelaskan hal yang sama dengan pendapat di atas. 

Bobot dari pendapat ini adalah karena ada dua orang sahabat Nabi SAW yaitu Abdurrahman bin Auf dan Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma yang berfatwa dengan fatwa ini. Dan pandangan yang pertama inilah pendapat jumhur ulama. 

Alasan dari pendapat yang pertama ini sejauh yang saya amati dan saya pahami, adalah adanya jawazul jam'i baina shalataini, yaitu karena zhuhur dan ashar bisa dijamak, begitu halnya maghrib dengan isya. Bukankah ketika kita sedang safar, kalau kita tidak sempat shalat zhuhur karena ada udzur safar itu tadi, kita boleh mengakhirkan shalat zhuhur ke shalat ashar yang disebut jamak ta'khir. Maka bukankah haidh juga adalah udzur…? Jika haidh termasuk udzur, maka selama ada udzur haidh, wanita tidak shalat zhuhur, kecuali jika ia suci diwaktu ashar, maka ia wajib shalat zhuhur sebagaimana ia wajib shalat ashar. 


2. PANDANGAN YANG TIDAK MENGHARUSKAN

Diantara ulama yang berpendapat dengan pandangan ini adalah ulama dari kalangan mazhab al-Hanafiyah. Mereka berpendapat bahwa wanita yang suci dari haidhnya diwaktu ashar, maka dia tidak wajib shalat kecuali shalat yang waktunya dia dapatkan. (lihat ; kitab al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah -13/73).

Sedangkan dari kalangan ulama kontemporer ada Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin yang berpandangan dengan pandangan kedua ini seperti yang beliau jelaskan dalam kitabnya Syarh al-Mumthi' fii Zaad al-Mustaqni' pada jilid ke-2 halaman 133.

Syeikh al-Utsaimin mengatakan mengenai hukum wanita yang suci dari haidh dan nifas bahwa ia tidak wajib shalat kecuali shalat yang ia dapatkan waktunya saja. Sedangkan shalat yang sebelumnya tidak wajib ditunaikan. Karena Nabi SAW pernah bersabda : 


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلَاةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ. (أخرجه البخاري و مسلم وأصحاب السنن) 


Artinya : Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat berarti dia telah mendapatkan shalat." (HR. Bukhari dan Muslim dan Ashabua Sunan)

Menurut penjelasan Syeikh al-Utsaimin, ketika beliau hendak memperkuat argumentasinya, beliau menyebutkan bahwa keberadaan "ال" pada kata "الصلاة" yang kedua menujukkan bahwa itu adalah "ال للعهد" maksudnya kata shalat yang kedua itu karena ada "al lil ahdi-nya" maka maknanya berarti dia menjelaskan dan merujuk pada kata shalat yang disebutkan sebelumnya. 

Maksud hadis diatas adalah ketika seorang wanita suci dari haidhnya diwaktu yang ia masih mendapatkan waktu shalat, shalat ashar misalnya, sebelum matahari tenggelam meskipun hanya dapat satu rakaat atau satu kali ruku' dari shalat tersebut, maka dia wajib menunaikan shalat ashar itu, sedangkan untuk shalat zhuhurnya, karena dia tidak mendapatkan berarti dia tidak wajib atau tidak perlu shalat zhuhur, karena waktunya sudah berlalu dengan sempurna, oleh karena si wanita tadi tidak wajib shalat zhuhur. Jika dia tidak terkena kewajiban shalat zhuhur bagaimana bisa kita mengharuskannya untuk mengqadha shalat zhuhur…? 

Dalam riwayat lain, terdapat satu dalil yang bisa memperkuat pendapat diatas, perhatikan hadis berikut ini ;

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :… وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ. (أخرجه البخاري ومسلم وأصحاب السنن)


Artinya : Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "… Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat dari shalat 'Ashar sebelum terbenam matahari berarti dia telah mendapatkan 'Ashar." (HR. Bukhari, Muslim dan Ashabus Sunan)

Pada hadis diatas disebutkan bahwa barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat dari shalat ashar, sebelum terbenam matahari berarti dia telah mendapatkan ashar, dalam redaksi hadis ini tidak disebutkan dia wajib mengqadha shalat zhuhur bukan...? 

Jika pandangan pertama basis argumentasinya dibangun berdasarkan qiyas atas udzur, dan jawazul jam'i baina shalataini (kebolehan menjamak kedua shalat dimaksud), ditambah lagi fatwa dua orang sahabat, maka pandangan yang kedua ini basis argumentasinya adalah manthuq wa mafhum an-nash al-muta'alliqu bil bab, maksudnya berdasarkan apa yang dikatakan dan apa yang dipahami dari nash atau dalil yang terkait dengan bab. 

Saya sendiri lebih cenderung pada pendapat yang kedua, meskipun pendapat pertama cenderung lebih hati-hati. [] @AHU. 


*** ***

Ruang transit dosen P2B UIN Suka
Jum'at, 29 Shafar 1437 H / 11 Desember 2015 M

*) Penulis adalah Pengajar di Ponpes Darul Mushlihin Yogyakarta. 





Posting Komentar

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Recent

Comments

Side Ads

Text Widget

Connect Us

item