STATUS DO'A ANTARA AKHIR SURAH AL-FATIHAH DAN LAFAZH "AAMIIN".

Surah al-Fatihah, surah pertama dalam al-Qur'an Oleh ; Ahmad Hasanuddin Umar *) HalaQah - Waktu kecil guru ngaji saya dikampung m...

Surah al-Fatihah, surah pertama dalam al-Qur'an
Oleh ; Ahmad Hasanuddin Umar *)

HalaQah - Waktu kecil guru ngaji saya dikampung mengajari kalau kita selesai membaca surah al-Fatihah sebelum mengucapkan lafazh "aamiin" dianjurkan supaya mengucapkan do'a "rabbighfirliy wa li waalidayya wa li jami'il muslimiina" baru setelah itu mengucapkan "aamiin".

Ajaran ini terus saya pelihara dan saya amalkan, sampai suatu saat ada seorang santri waktu saya ngajar di Pondok Pesantren Darul Abrar Palattae Kecamatan Kahu Kabupaten Bone Sulawesi Selatan bertanya kepada saya, pertanyaannya ; apakah ada dalilnya yang menganjurkan kita untuk membaca do'a diatas saat selesai membaca surah al-fatihah dan sebelum mengucapkan aamiin…?

Pertanyaan diatas tentu sangat menggugah pikiran saya, karena selama saya ngajar saya selalu menekankan kepada para santri untuk senantiasa bertanya pada diri masing-masing "apakah semua amalan yang diamalkan sudah berdasarkan ilmu (tahu dalilnya) atau hanya sekedar ikut-ikutan saja kepada apa yang kita dengar dari orang tua atau guru ngaji kita…?

Kenapa demikian…? Karena sekarang sudah menjadi santri dan ada dilingkungan Pondok Pesantren, ada banyak kitab tersedia diperpustakaan, jika tidak bisa membacanya, ada banyak ustadz yang selalu siap membantu. Itulah "tasyjii" atau dorongan yang selalu saya sampaikan kepada para santri, agar mereka tidak merasa puas hanya sampai pada level menjadi muqallid, setidaknya perlu ada peningkatan dari level muqallid naik pada level muttabi'.

Dalam kitab "mabaadiu awwaliyah fii Ushulil Fiqhi wal Qawaid al-Fiqhiyah" juga dalam kitab  "as-Sullam" karya Syeikh Abdul Hamid Hakim, -kitab yang dulu pernah saya pelajari di masa-masa awal saya nyantri di Gontor- ada penjelasan tentang tingkatan manusia dalam beramal.

***

TINGKATAN MANUSIA DALAM ILMU DAN AMAL

Dalam beramal manusia itu dibagi kedalam 3 tingkatan ; ada 1. mujtahid (orang yang mengeluarkan usahanya dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan hukum syara' dengan cara mengambil kesimpulan dari al-Qur'an dan as-Sunnah) ; 2. Muttabi'  ; dan 3. Muqallid.

Apa beda antara muttabi' dan muqallid…?  Dalam kedua kitab diatas Syeikh Abdul Hamid Hakim menjelaskan perbedaannya. Muttabi' adalah orang yang menerima pendapat orang lain dan dia mengetahui dari mana sumber perkataannya (dalil dari fatwanya atau ajarannya), sedangkan Muqallid adalah orang yang menerima pendapat orang lain, tapi dia tidak mengetahui sumber atau dalil dalil perkataan, fatwa atau ajarannya.

Masyarakat pada umumnya mungkin bisa saja mereka berhenti sampai level muqallid, -meskipun saya sendiri tidak merekomendasikannya- karena beberapa keterbatasan sumber ilmu, baik sumber ilmu dalam bentuk kitab rujukan ataupun dalam bentuk seorang ustadz pengajarnya. Sedangkan santri harus ada peningkatan, jangan betah hanya jadi muqallid, tapi jadilah minimal muttabi', syukur-syukur jadi seorang mujtahid kelak pada saatnya.

Berbeda dengan Syeikh Abdul Hamid Hakim, Syeikh Ahmad bin Muhammad ad-Dimyathi dalam kitabnya “Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala Syarh al-Waraqaat”, ketika menjelaskan tingkatan manusia dari sisi ilmu dan amalnya, hanya membagi kepada dua bagian saja yaitu taqlid (muqallid) dan ijtihad (mujtahid) saja, pandangan ini akan sangat berpengaruh pada perpektif santri-santri dan masyarakat yang pernah mempelajari kitabnya atau pernah mendengarkan kajiannya dari para kyia atau para asatidznya ditempat mereka masing-masing.

Mereka yang hanya berhenti mempelajari kitab “Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala Syarh al-Waraqaat”, akan berkesimpulan, manusia itu posisinya hanya ada dua kemungkinan, kalau tidak mujtahid ya muqallid, sedangkan mereka yang pernah mempelajari kitab “Mabaadiu Awwliyah fii Ushuuli al-Fiqhi wa Qawaid al-Fiqhiyah” pembagiannya lebih detail lagi, tidak hanya muqallid dan mujtahid, tapi ada muttabi’ yang berada ditengah-tengah antara mujtahid dan muqallid.

***

SANTRI ADALAH CALON MUNDZIRUL QAUM

Dalam mentasyjii’ para santri saya lebih bersandar pada teorinya Syeikh Abdul Hamid Hakim, ; “jika antum belum bisa jadi mujtahid, minimal jadi muttabi’ jangan puas diri hanya menjadi muqallid karena antum akan menjadi ‘mundzirul qaum’ ini adalah istilah yang sering ditekankan oleh Kyiai saya waktu nyantri di Gontor K.H Hasan Abdullah Sahal, bahawa santri itu pada akhirnya ketika pulang kemasyarakatnya masing-masing maka mereka akan menjadi “mundzirul qaum’. Sebuah istilah yang disarikan dari salah satu ayat al-Qur’an QS. At-Taubah ayat 122 berikut ini ;

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ ﴿التوبة: ١٢٢﴾

Artinya : Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS.at-Taubah : 122)

Pada ayat diatas ada kalimat “li yundziruu qaumahum’ ini fi’il mudharinya, jika dijadikan isim fa’il maka jadilah “mundziru qaumahum” atau lebih mudahnya K.H Hasan Abdullah Sahal menyebutnya “mundzirul qaum”.

“Paling tidak mudzirul qaum itu harus muttabi’ levelnya”. Inilah dorongan yang sering saya sampaikan kepada para santri, baik pada saat di Ponpes Darul Abrar, maupun saat saya ngajar di Ponpes al-Ishlah, di Ponpes Darul Mushlihin, di Ponpes al-Fadhilah maupun di Ponpes Taqwiinul Muballighin.

***

Kembali pada pertanyaan santri diatas, apakah ucapan “rabbighfirliy wa lii wa lidayya wa li jami’il muslimiina’ sebelum mengucapkan lafazh “aamiin’ setelah selesai membaca al-Fatihah ada dasarnya…? Disatu sisi saya ucapkan Alhamdulillah sebagai bentuk rasa bersyukur, berarti santri yang bertanya ini, sudah mau meningkatkan dirinya dari level muqallid ke level muttabi’, tapi disisi lain saya terhenyak, ternyata masih banyak amalan-amalan yang selama ini saya amalkan juga saya belum tahu dalilnya, ini artinya masih muqallid levelnya.

Sungguh pertanyaan santri diatas, -ditambah lagi beberapa kali ada santri Ponpes al-Ishlah yang menanyakan ulang, pertanyaan yang kesekian kali inilah yang mendorong saya untuk menulis artikel ini- sangat menggugah saya untuk mencari, apa ada dasarnya do’a yang ditanyakan diatas, sementara saya sendiri terus mengamalkannya. Dari sekian banyak kitab yang ada di perpustakaan Pondok Pesantren Darul Abrar Palattae koleksi milik al-Ustadz al-Hafizh Muttaqien Said, MA lulusan Jami’ah al-Madinah al-Munawwarah, yang dulu juga pernah nyantri di Gontor, dan beliau adalah pengasuh Ponpes Darul Abrar, saya belum juga menemukan, mungkin karena sibuknya aktivitas saya waktu itu, karena selain ngajar, saya juga menjadi santri tahfizhul Qur’an sekaligus menjadi sekertaris Pengasuh.

***

LANDASAN DO'A ANTARA AKHIR AL-FATIHAH DAN LAFAZH "AAMIIN" DAN DERAJAT HADISNYA

Setelah sekian tahun berlalu akhirnya saya pun menemukan landasan do’a yang ditanyakan santri diatas dalam kitab “Matan Safinatun Najaa Fii Ushuliddiin wal Fiqhi ‘ala Mazhabi al-Imam as-Syafi’i” karya Syeikh Salim bin Sa’ad bin Samir al-Hadhrami, itupun bukan dalam matan kitabnya melainkan dalam catatan kaki hasil ta’liq dari Alawi Abu Bakar Muhammad as-Saqqaaf alumni Fakultas Dirosah al-Islamiyah wal Lughah al-Arabiyah di Al-Azhaar as-Syarif Mesir, pada kitab safinah yang diterbitkan oleh Darul Kutub al-Islamiyah Jakarta.

Pada catatan kaki halaman 21 atas pembahasan Sakataatus Shalah (keadaan diam dalam shalat), Alawi Abu Bakar Muhammad as-Saqqaaf memberikan komentar pada pembahasan bahwa antara akhir al-Fatihah dan bacaan aamiin keadaannya harus diam, nah beliau mengomentari dengan mengatakan ; “disunnahkan membaca “rabbighfirliy” baru kemudian aamiin, atau jika ditambahi rabbighfirliy wa liwaalidayya wa li jami’il muslimiina” maka tidak mengapa alias laa yadurru. Beliau mengatakan bahwa bacaan antara akhir surah al-fatihah dan aamiin ini berdasarkan khabar atau hadis hasan dari Rasulullan SAW; bahwasannya beliau SAW setelah membaca “walaadhaalliin” beliau membaca “rabighfirliy Aamiin” dengan redaksi berikut ini :

"يسنّ أن يقول بين آخر الفاتحة و آمين : رب اغفرلي, للخبر الحسن : أنّه صلى الله عليه وسلم قال عقب (ولا الضالّين) :  ((رب اغفرلي آمين))  فإن زاد : ولوالدي ولجميع المسلمين, لم يضر"

Tapi sayangnya beliau tidak menyebutkan rujukannya, hadis yang belaiu klaim hasan itu hadis riwayat siapa, dan diambil dari kitab apa sebagai rujukan, nah dari sini saya masih belum merasa puas atas informasi yang sudah saya temukan untuk menjawab kegelisahan santri diatas.

Ketidakpuasan akademik masih terus menggelayut dipikiran saya sampai pada akhirnya saya mendapatkan kitab “al-Ahadits ad-Dha’iifah wal Maudhu’ah allatiy Yustadallu ‘alaa Bida’I fii al-Ibadaat” karya ilmiyah dari Syaikh Ramiz Khalid Haaj Hasan, sebuah kitab kumpulan hadis-hadis lemah dan palsu yang masuk kategori kontemporer yang diterbitkan oleh Maktabah al-Ma’arif.

Dalam kitab yang disebut barusan ini, saya mendapatkan informasi penting, terkait bacaan antara akhir surah al-faatihah dan aamiin, khususnya pada halaman 273 jilid ke-1, dari 3 jilid total volumenya. Pada halaman tersebut ada penjelasan cukup rinci, bahwa hadis yang dikutip oleh Abu Bakar Muhammad as-Saqqaaf dalam ta’liqny atas kitab kitab “Matan Safinatun Najaa Fii Ushuliddiin wal Fiqhi ‘ala Mazhabi al-Imam as-Syafi’i”, adalah hadis riwayat Imam at-Tabrani dalam kitab “Mu’jam al-Kabiir”, begini redaksi hadisnya :

عن وائل بن حجر رضي الله عنه أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم حين قال : ((غير المغضوب عليهم ولا الضآلين)) قال : ((رب اغفرلي آمين)). [رواه الطبراني في المعجم الكبير]

Artinya : Dari Wail bin Hujr r.a bahwasannya beliau pernah mendengar Rasulullah SAW ketika selesai membaca ((ghairil magdhuubi ‘alaihim walaadhaalliin)), beliau mengucapkan (rabighfirliy aamiin)) . [HR. at-Thabrani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabiir].

Tapi sayang, Abu Hatim seperti disebutkan dalam kitab l-Jarh wat Ta’dil halaman 62 jilid ke-2 npmpr 99, mengatakan bahwa hadis diatas ada perawi yang bernama Ahmad bin Abdil Jabbar bin Muhammad al-Athaaridi, dia ini adalah perawi yang tidak kuat alis “laisa biqawwi”. Sedangkan Ibnu Adiy mengomentari bahwa al-Athaaridi ini menurut penduduk negeri Iraq mereka sepakat akan lemahnya al-Athaaridi, Ibnu Hajar al-Asqalani dan Imam adz-Dzahabi keduanya menilai al-Athaaridi adalah dhaif.

Dalam hadis riwayat Imam at-Tirmidzi memang ada hadis juga dari Wail bin Hujr sebagai berikut ;

عن وائل بن حجر رضي الله عنه قال سمعتُ النبيّ صلى الله عليه وسلم قرأ : ((غير المغضوب عليهم ولا الضآلين)) فقال : ((آمين)) و مدّ بها  صوتها [رواه االترمذي وقال حديث حسن]

Artinya : Dari Wail bin Hujr r.a ia berkata ; aku pernah mendengar Nabi SAW ketika selesai membaca ((ghairil magdhuubi ‘alaihim walaadhaalliin)), beliau mengucapkan (aamiin)), dan dengannya beliau panjangkan suaranya . [HR. at-Tirmidzi dan beliau mengatakan hadis ini adalah hadis Hasan].

Sedangkan tambahan kalimat ((rabbighfirliy)) dalam hadis Wail bin Hujr diatas adalah tambahan kalimat yang munkar, wallahu a’lam. Syeikh Muhammad bin Abdus Salam as-Syuqairi rahimahullahu dalam kitab as-Sunan wal Mubtadhi’aat mengatakan bahwa riwayat dengan tambahan ; ((allahummaghfirliy wa liwaalidayya wa lil muslimiina)) ketika Imam selesai membaca ((waladhdhaalliin)) adalah bid’ah. Begitu juga apa yang dikatakan oleh Syeikh Bakr Abu Zaid belaiu mengatakan bahwa diantara perkara baru yang berkaitan dengan lafazh aamiin setelah selesai membaca al-fatihah adalah tambahan bacaan ((allahummaghfirliy)), lalu beliau menyebutkan hadis dan melemahkannya. [] @ahu.

*) Penulis adalah Pengajar Ushul Fiqih di Pondok Pesantren Taqwiinul Mubalighin (PPTM)

***

Sampangan Lor,
Jum’at, 10 Muharram 1437 H / 23 Oktober 2015 M
Ahmad Hasanuddin Umar.



Related

headlines 2552158957561098771

Posting Komentar

emo-but-icon

Follow Us

Hot in week

Recent

Comments

Side Ads

Text Widget

Connect Us

item